Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh . . .
Salah Sehat sahabat semua :)
Selamat malam, alhamdulillaah sebentar lagi kita akan menghadapi bulan syawal. Dan atas kehendak Allah kita dapat melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Semoga ibadah kita diterima. Aamiin . .
Sahabat semua, malam ini saya akan membagikan cerita pendek tentang bagaimana seorang wanita yang sedang menjalani proses hijrah, di mulai dari jiwa glamor karena pergaulan dengan teman-temannya hingga dia dapat hidayah karena asbab figur seorang nenek yang sangat menyayanginya.
Baca dan simaklah dengan seksama, insyaAllah banyak hikmah yang dapat diambil !
WARISAN
NINI
Abu Khonsa AsSundawi
Ummu Khonsa AsSundawiyah
Kamu kuper, Ning!” Ledek teman – temanku seringkali.
“Eh, enak aja.Bukan gitu,aku juga gak tahu kenapa
niniku selalu mengajariku hal – hal kaya gitu,”jawabku membela diri.
“Mulai dari cara berpakaian,cara berjalan,cara
berbicara,cara makan,cara menerima tamu,berhadapan dengan orang lain sampai
tetek bengek semua diatur berdasarkan undang-undang Nini,”lanjutku.Teman-teman
tertawa semua.
Ah,kenapa sih Nini mendidikku kolot begini? Aku
semakin terisolir dari pergaulan teman-temanku yang modern atau bahkan super
modern.Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak karena watak Nini keras.
Semenjak mulai
berangkat remaja memang aku diambil oleh Nini.Katanya sih untuk menemaninya di
rumah,karena penghuni rumah hanya tinggal Nini sendiri,sedangkan kakek beberapa
tahun tiada.
“Biar tidak
terlalu sepi,” kata Nini setiap kali ada yang bertanya mengapa Aku tinggal
bersamanya.Jadilah aku anak Nini yang harus mentaati seluruh tata tertib yang
sebelumnya belum pernah aku lakoni.
“Ning,kamu ini
perempuan,memakai baju tidak boleh sama dengan laki-laki,harus beda! Tunjukkan
bahwa kamu ini perempuan,bukan laki-laki!” tegur Nini tatkala melihat di
tumpukan baju dalam lemariku ada model baju yang menurutnya tidak cocok untuk
dekenakan perempuan.
“Teman-teman Ning
biasa pakai kayak gini kok.Nggak apa-apa.Ini model masa kini, Ni!.” Aku
berusaha menjelaskan kepasa Nini.Wajah keriput Nini malah cemberut.
“Tidak, Ning.
Kamu jangan ikut-ikutan teman-teman kamu.Belum tentu betul.Nini minta,baju ini
tidak usah kamu pakai lagi!” Aku merengut,kecewa dengan keputusan Nini.Alamat nanti jadi bahan ledekan temen-temen lagi.Nini sibuk
memilih dan memilah pakaianku yang cocok dan tidak cocok menurutnya.
Pak,Bu,aku mau pulang lagi ke rumah.Disini
gak betah,banyak aturna Nini yang ketat dan berat.
Berkali-kali
kuungkapkanisi hatiku kepada ibu dan bapakku lewat surat.Namun,lagi dan lagi
jawabannya sama.
Sabar, Ning!Nini memang keras,namum hatinya
lembut.Bertahanlah bersama Nini.Kasihan Nini sendirian.Turuti apa kata
Ninimu.Tidak usah membantah.Insyaallah, hal itu baik untukmu.
Nasihat Ibuku dalam surat balasan.
“Ning,bangun!
Habis Shubuh jangan tidur lagi!” tegur Nini ketika melihatku tidur ba’da
Shubuh.Aku menggeliat perlahan mengerdip-ngerdipkan mata,mencoba menahan kantuk
yang berat.
“Memangnya kenapa
gak boleh, Ni?” tanyaku sedikit kesal kepada Nini yang melarangku melakukan
sesuatu yang menurutku sepele.Kening Nini sedikit mengernyit.
“Aku ngantuk
sekali.Tadi malam belajar sampai larut.”
“Pokonya tidak
boleh.Pamali !”
kata Nini, nada suaranya agak meninggi.
“Pamali kenapa, Ni ?”
tanyaku sambil menguap.
“Nanti rezekimu seret “ kata Nini bernada
kesal,barangkali menurutnya aku mulai pandai mendebat.
“Terus apa yang
harus aku lakukan, Ni?” tanyaku
pura-pura ingin tahu.
“Banyak yang bisa
kamu lakukan.Lakukanlah.Asal tidak tidur!” kata Nini sambil berlalu dari
kamarku.
Hari-hari yang
kulalui selalu itu-itu
juga.Maksudnya,harus selalu sesuai dengan tata tertib Nini.Mulai dari
bangun tidur sampai tidur kembali.Selalu ada
dalam pantauan Nini.Tak alang lagi teman-temanku mengata-ngatai aku
gadis superkuper.
“Ni, aku dikata-katai gadis kuno sama teman-temanku.”
Sebentar kuperhatikan ekspresi wajahnya.Nini hanya diam.
Kusangka Niniku sudah mulai menyadari sikapnya
padaku,sehingga aku mendapat peluang untuk terus berbicara tentang
teman-temanku yang gaya hidupnya supergaul,
bebas menentukan apa saja tanpa tata karma kolot seperti yang kata mereka
tidak pas dengan zaman.
“Teman-temanku sering memakai baju dan sepatu model
baru kayak di tivi itu lho,Ni,yang suka dipakai artis.” Sejenak kuperhatikan
kata-kataku,tadinya menanti reaksi Nini. Kukira ini kesempatan baik.Sebelum
Nini buka mulut,terus kuluncurkan kata-kataku.
“Dan teman-temanku sering menikmati makan impor,tidak
seperti aku yang hanya makan makanan produksi daerah saja.Pergaulan mereka luas
dan aktif dalam berbagai kegiatan.Bahkan di antara mereka ada yang menjadi
bintang iklan,model,gadis sampul,artis sinetron,penyiar radio,atlit terkenal!”
kataku dengan semangat reformasi.Tentu
saja,berita tentang seorang bapak yang stress gara-gara anak perempuannya minta
uang 200 juta untuk bayar makelar biro artis tak kusampaikan sama Nini.
“Penggemar
mereka banyak, Ni.Bukan hanya kaum perempuan,tapi juga laki-laki.Wah,pokoknya
ngetop deh.Hebat ya, Ni?” Kulihat Nini masih terdiam.Matanya yang sayu di
sela-sela kulitnya yang keriput menandakan ketidaksenangan. Bahkan tarikan
nafasnya kian panjang dan berat.Ia mamandangku dengan tajam,dengan sorot mata
yang menyilaukan.
“Ning, kamu ini cucu Nini.Jadi, harus nurut sama
Nini!” tegas Nini, menyentak dan menghujam hatiku,dada bergedup.
“Tidak usah terkesan gaya hidup diluar kebiasaan
itu.Kita tidak boleh takluk oleh zaman.Model pakaian bukan harus mengikuti
zaman yang berubah-ubah.Model pakaian bukan untuk menutupi rasa
minder,malu,karena takut dikatakan kunolah,ketinggalan zamanlah,kolotlah.” Nini
terus bicara,tenang mendekati diriku yang duduk terpaku di kursi rotan tua.
“Ning, kamu harus memahami, model pakaian adalah
cermin keyakinan sekaligus penghias kepribadian seseorang muslimah. Maka,
sebagai seorang muslimah, setiap kali mau mengenakan pakaian dan berdandan, seharusnya kamu merenung
: apakah model pakaian yang kukenakan dan dandananku sudah mencerminkan
keyakinan dan menghiasi kepribadianku sebagai muslimah?” Aku tak menduga akan
mengalir kata – kata penuh ruh dari
bibir Nini yang sedikit bergetar.
“Model pakaian kita semestinya mencerminkan keyakinan
kita terhadap perintah Allah dan sunnah Rasulullah.Melalui wahyu-Nya Allah
sudah menyampaikan kepada Rasulullah, model pakaian yang harus dikenakan
seorang wanita.Nini kira, kamu pun sering mendengar surat dan hadits tentang
jilbab dari kajian-kajian yangkamu ikuti.” Diam – diam hatikumalu
sendiri.Daripada Nini, aku lebih sering mendengar ayat Qur’an dan hadits
tentang jilbab dalam kajian yang kerap kuikuti.Namun memang, untuk istiqomah
mengamalkannya, berat sekali.
“Ning, model pakaian yang tidak mengikuti sunnah
tentu saja tidak mungkin bisa menutupi batin yang gelisah karena senantiasa
didera tipuan perubahan zaman.” Nini mengelus pundakku,halus dan lembut.
“Kemudian, kamu tidak usah membayangkan kebahagiaan
dengan memandang keadaan zhahir orang lain.Tidak usah berangan – angan ingin
seperti teman-teman kamu yang katamu sukses menjadi model,bintang
iklan,artis,gadis sampul,artis sinetron,atlit nasional,dan sebagainya.Hal itu
Cuma siling sawang…”
“Maksudnya apa, Ni?”
kata- kata Nini ayng melembut membuatku sedikit berani bertanya.
“Kamu memandang teman-teman kamu hidup senang karena
sukses menjadi model iklan, bintang sinetron,artis,atlit nasional, dan
sebagainya. Sementara teman-teman kamu memandang justru hidup kamu bahagia
dengan kesederhanaanmu.”
“Sudahlah,Ning,mengapa kamu harus membuat susah
dirimu sendiri dengan memikirkan kesenangan lahiriyah orang lain? Padahal boleh
jadi hal itu tipuan syetan yang merasuk kedalam hatimu supaya kamu kehilangan rasa
syukur dengan apa yang telah diberikan Allah kepadamu,yang kini sudah dimiliki
olehmu.”
Nini memegang ujung kerudungku dan mengusap lembut
pipi kakanku dengan punggung jemarinya.”InsyaAllah,kamu pun akan menjadi wanita
mulia dan anggun dengan bedak tipis dan kerudung ini.” Tersipu aku,tak percaya
kutatap wajahku pada kaca jendela yang satu engselnya rusak.
“Kamu masih muda,tidak seperti Nini yang sudah
tua.Kamu belum banyak membaca tanda hakikat hidup.Mungkin sebentar lagi Nini
masuk kubur….”
Kulihat ada sedikti gurat duka pada rona wajah Nini
yang memancarkan nur kewibawaan dan kesejukan. Hari-hari Nini memang senantiasa
menjawa wudhu dan shalat tahajjud.
“Nini saying kamu.Nini ingin kamu jadi cucu yang
baik.Semua yang Nini lakukan demi masa depanmu.Nini khawatir kamu terjerumus ke
dalam hal yang enggak-enggak. Nini sangat berharap padamu.Sekarang mungkin kamu
belum banyak merasakan,tapi nanti, kamu akan merasakannya sendiri.” Bibirku
terkatup,dinding hatiku bergetar mendengar kata-kata Nini yang deras dan tegas.
“Entah kini atau nanti,Nini akan meninggalkanmu untuk
selamanya.Tak ada yang bisa Nini wariskan kepadamu yang berupa materi,kecuali
pelajaran Nini ini.” Mulutku terbungkam.Kulihat dari kedua kelopak mata Nini
yang cekung ada rembesan airmata.Perlahan ia menyapunya dengan ujung kerudung
nya.
Entahlah,aku mulai meresapi kata-kata Nini yang
asalnya sulit kuterima.Aku tertunduk.Nini pun diam.Hanya jam dinding yang
berdetak denga jarum pendeknya menunjukkan angka dua belas.Hembusan angin malam
menerpa kami berdua yang mematung,larut dalam pikiran masing – masing.
Sayup –
sayup kudengar suara hadrah dan
shalawatan dari Kampung Nyalindung, kampong tetangga yang konon pernah menjadi
pusar agama di daerahku sebelum pondok pesantren Ajengan Eman dibakar gerombolan.
“Nini,Nini mau tidur? Besok saja lanjutkan
lagi,”kataku memecah keheningan.Nini tidak menyahut.Kulihat Nini menarik napas
panjang yang berat sambil menatap tutunjuk yang terselip pada bilik dan
tuturutan tua pada rak tua peninggalan Aki.Sejenak ia menatapku,lalu
meninggalkanku tanpa kata-kata.
Aku pun beranjak dan masuk ke dalam
kamarku.Kudengar hembusan angin malam,suara cengkrik, dan air pancuran kecil
yang menimpa balong,mengantar pkiranku merenungi satu demi satu nasihat Nini
sejak aku tinggal bersamanya.
Tujuh tahun genap sudah kujalani hidup bersama Nini
di pedesaan yang jauh dari hiruk – pikuk kota.Aku sudah menjadi cucu Nini yang
penurut.Entah terdorong oleh angin rasa kasihan,takut,segan,kagum,
atau….entahlah aku sendiri tak tahu.Aku sudah terbiasa mengikuti irama
kehidupan Nini dalam kesederhanaan, ketegasan, keteguhan pendirian,
keistiqamahan, dan lain – lain nya.
Nini sudah jarang menegurku lagi.Hanya sesekali dua
kali saja kalau ada kesalahan fatal.Seperti waktu aku pulang kemalaman habis
beli obat di kota karena tercegat hujan deras yang mengguyur jalanan.
“Tidak baik perempuan pulang malam.Jangan ulangi
lagi!” Hanya kalimat itulah yang
meluncur dari bibirnya,sementara jemarinya terus memutar tasbih yang selalu ada
dalam genggamannya.Aku hanya mengangguk pelan.
***
Udara pedesaan yang jauh dari polusi,pepohonan hijau yang terpancang
disana-sini,hewan-hewan jinak bersahabat,membuat aku merasa selalu bernafas
lega.Kilauan mentari,siulan burung-burung yang menyambut pagi menambah
ketentraman jiwa.
“Ni,apa Nini nggak mau tinggal di kota bersama ayah dan ibu ?” tanyaku
suatu pagi saat menyiram bunga-bunga hias yang menjaga kutanam melepas
kejanuhan.Nini berhenti sejenak mengupas singkong untuk menyimak pertanyaanku.
“Nini sudah cukup tenang hidup di desa.Walau tidak punya apa-apa,hati
Nini tentram.Nini enggak mau jadi korban…” katanya mantap.
“Korban? Korban apa, Ni?” tanyaku heran tak mengerti.
“Korban kesibukan?” tanyaku penasaran.Segera kubantu Nini mengupas
singkong seusai menyiram bunga.
“Kalu kalian pada sibuk kerja,Nini takut ditinggal sendirian.”
“Ditinggal sendirian?”
“Ditinggal sendirian dimana?”
“Di panti jompo.”
“Ah,Nini,ada-ada saja.”
“Ning,Kamu sekarang sudah jadi gadis dewasa.Jaga kehormatanmu! Nanti
kalau Kamu nikah,nikahlah dengan laki-laki yang shalih.Nini ingin suamimu kelak
tidak meninggalkan ajaran Nini padamu.” Nini menatapku seolah menaksir
kata-kata yang akan kulontarkan. Aku menarik napas dan kuhentikan sebentar
tangan yang bergerak mengupas singkong.Keningku berkerut, benakku mencerna alur
pembicaraan Nini.
“Ni, bagaimana caranya agar aku bisa menemukan laki-laki yang dimaksud
Nini itu?” tanyaku sedikit humor. Kulihat nur sesungging senyum pada bibirnya.
“Ning,kalau kamu mau,Nini sudah punya pilihan.”
Degh! Aku sudah tambah bisa
menerka arah pembicaraan Nini.Haruskah hal yang satu ini pun mengikuti kehendak
Nini? Pergolakan rasa dalam hati membuat napasku tidak menentu.
“Nini tidak akan memaksamu, Ning.Hanya memebantu mencarikan yang menurut
pandangan Nini baik buatmu.”
Nini seperti mengetahui pkiran dan persaanku.Aku berusaha mengatur
napas.Kutepis perasaan asing yang simpang siur melintas relung hati.Sambil
mengupas singkong yang tinggal sedikit lagi,kucoba bertanya pada Nini.
“Terus siapa calon yang Nini maksud ?” tanyaku setengah penasaran.Kutatap cahaya cerah pada
kedua matanya yang teduh.
“Ada. Anak Pak Haji Rifa’i.Namanya….namanya kalau tidak salah
Abdurrohim,Ustadz Abdurrohim.” Kata Nini berbinar menatapku.
“Dia baru selesai mesantren, ilmu agamanya tinggi, budi pekertinya
baik,sopan,akhlaknya baik kepada siapa saja,rendah hati, dan….” Nini terus
bercerita tentang Ustadz Abdurrohim plus segala kebaikan-kebaikannya. Aku tersenyum, sesudut hatiku bergetar, tapi perasaanku
datar.
Apalagi ini? Apakah teman-temanku di kota akan kembali mengejekku kalau
menerima lamaran seorang lelaki lulusan pesantren? Serba rasa dalam hatiku pun
berkecamuk.Untuk hal lain, aku masih bisa patuh pada Nini, tapi masalah ini
tidak! Aku tidak bisa begitu saja menurutinya.
“Ah tidak, Ni. Aku tidak ingin nikah dulu.Mau nemani Nini saja,” kataku ingin menutup tema pembicaraan Nini
kali ini.
“Ning ! memangnya kamu ma uterus sendiri tanpa pendamping hidup ?
Apalagi, mungkin sebentar lagi Nini tidak bisa menemani kamu.” Kata-kata Nini
kali ini teramat lirih.Aku merasakan sesuatu yang jauh dan asing tiba-tiba
hadir di sekitar Nini, membawa kabar dari negeri yang krenteg hati pun tak mampu menjelajahinya.
“Nini rindu amal shalih cucu-cucu Nini menjadi cahaya yang menerangi
kubur Nini.Maka, nikahlah kamu dengan laki-laki shalih.” Linang airmata dan
cahaya senyum Nini terasa menembus dinding bening batinku.
“Ning, Kamu adalah cucu Nini, harapan Nini, penerus Nini.Jadilah kamu
cucu kebanggaan di dunia dan akhirat.Yakinlah, sesungguhnya engkau lebih pantas
menjadi bidadari syurga, tak usah lagi membayangkan singgasana maya di istana
dunia fana.” Kata-kata Nini terakhir
meluruhkan seluruh perasaan hatiku.
Tapi sanggupkah aku mendampingi laki-laki seperti lulusan pesantren
seperti Ustadz Abdurrohim? Bagiku terlalu mulia untuk ukuranku yang naïf
ini.Namun,mau menolak takut Nini merasa tersakiti,apalagi saat akhir-akhir ini
Nini sering sakit dan perasa sekali.Aku tak tega.Atau aku lari saja, pulang ke
rumah orang tua? Pasti malah aku dimarahi.Terus? Allahumma Shalli ‘ala Muhammad.Kuciduk segayung air dari tempayan,
kuambil wudhu.Shalat dan do’a istikharah kujadikan muara pengaduanku pada
Rabbku.
“Ning, antar Nini ke kamar.Nini amu istirahat dulu!” Nini makin sering batuk – batuk, aku
memapahnya masuk kamar, menelentangkan tubuhnya yang ringkih.
“Ingat ya, Ning, apa kata Nini….” Kalimat itu diucapkannya dengan bibir
bergetar. Nini memejamkan mata redupnya.
Entahlah, ada getaran lain dari kalimat Nini, menggendor-gendor
pintu kesadaranku. Dan, berkah istikharah kurasakan mulai menguakkan
selambu ragu di setiap jendela hatiku.
Dan akhirnya kudapati syukurku dalam perenunganku.Seharusnya sudah dari
dulu aku menyadari hal itu.Niniku yang baik dan shalih.Semua yang dia lakukan
demi kebaikanku, bukan saja buat di dunia, melainkan bagi akhiratku.Kenapa aku
bodoh atau merasa bodoh.Kurasakan keyakinan menyejukkan hatiku.Sorot cahaya
mulai menerangi alam pikiranku.aku tersenyum tulus.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berlari ke tempat tidur Nini untuk
menyampaikan berita bahagia untuk Nini.Semalam aku sudah mempertimbangkan masak
– masak: aku ikhlas dinikahkan dengan Ustadz Abdurrohim,anak haji Rifa’I itu.
“Ni, Nini…bangun, Ni….” Kuelus halus tangan Nini,tak ada gerak,
barangkali ia tidur demikian damainya.
“Ni, Nini…” Nini diam saja,lain
dari biasanya.
“Ni, ini Nining,Ni!” Sejenak kutatap, sesungging senyum menghiasi wajah
Nini yang teduh bercahaya wudhu.
“Nini…..” Aku merasakan tubuh Nini dingin dan kaku.
“Niniii…..”
***
Udara malam terasa panas.Beberapa
bulan memang hujan belum juga mengguyur bumi.Rembulan istiqamah menerangi
buana.Bintang-gemintang bergelantungan di tiang – tiang ghaibiyah angkasa.Aku
masih larut dalam kesedihan, mengenang masa hidup bersama Nini, merenungi
untaian mutiara nasihat yang tulus diwariskannya padaku.
“Ni, maafkan cucumu yang bodoh ini.” Aku tak sanggup menahan deras air
mata, kudekap foto Nini.
“Dik, sudah larut malam. Sudahlah, jangan nangis terus. Insyaalloh Nini
akan tentram di taman istirahatnya oleh taburan doa-doa tahajjudmu.” Tanpa
kusadari, suamiku, Ustadz Abdurrohim, telah berada di dekatku, mengelus lembut
bahuku.
Kedua tanganku makin erat mendekap foto Nini.Aku mengangguk pelan.
Suamiku mengusap butir-butir bening pipiku.Aku menjatuhkan kepala pada dada
suamiku tercinta, pilihan Nini tercinta.Memecahkan panineungan pada Niniku
tercinta.
============================================================
Sekian dan terimakasih, semoga cerpen ini bisa menjadi inspirasi untuk sahaba semua :)Dikutip dari cerpen karangan Abu Khonsa As-Sundawi & Ummu Khonsa As-Sundawi yang berjudul "HEBOH HIDAYAH" .
Sekian dan terimakasih, semoga cerpen ini bisa menjadi inspirasi untuk sahaba semua :)Dikutip dari cerpen karangan Abu Khonsa As-Sundawi & Ummu Khonsa As-Sundawi yang berjudul "HEBOH HIDAYAH" .